Oleh Abdullah Alawi
Kelahiran, Pendidikan, dan Karir Keilmuan
Kelahiran, Pendidikan, dan Karir Keilmuan
Syekh Nawawi lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syeikh Nawawi Bantani). Nama lengkapnya adalah Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi. Dia merupakan anak dari hasil perkawinan umar ibn Arab, seorang pejabat penghulu (pemimpin Masjid) di Tanara,[1] dan Zubaydah, wanita penduduk asli Tanara.[2]
Nawawi kecil mendapat pendidikan pertamnaya langsung dari sang ayah yang merupakan tokoh agama di Tanara. Ia bersama dua saudaranya kandungnya, Tamim, dan Ahmad diajari bahasa Arab, fiqh, dan ilmu tafsir.[3]
Semenjak kecil Nawawi terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung Kyai Sahal, Banten; kemudian berguru kapada kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.[4]
Pada usia 15 tahun, Nawawi mendapat kesempatan untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkan waktunya untuk belajar ilmu kalam (teologi), bahasa dan sastra Arab, ilmu had ts, tafsir, tasawuf, dan fiqh.[5]
Setelah tiga tahun belajar di Makkah, ia kembali ke Nusantara tahun 1248 H/1831 M. Dengan ilmu keagamaan yang didapat, ia mengabdikan diri membantu ayahnya mengajar para santri. Dia langsung mendapat simpati dari masyarakat. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya didatangi oleh santri yang datang membludak dari berbagai pelosok. Namun beberapa tahun kemudian, ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim (menetap) di sana. Keputusannya menetap di Makkah dilandasi oleh sikap pemerintah kolonial Belanda yang selalu memantau dan mengawasi setiap aktivitasnya. Hal ini membuatnya tidak betah tinggal di Indonesia.[6]
Di Mekkah kembali dia menimba ilmu sepuasnya. Kehausannya akan ilmu dan ketekunananya dikenang dan diabadikan teman seangkatannya, Raden Aboe Bakar (1854-1912), orang dari Banten yang juga belajar di Mekkah. Dalam bukunya ‘Tarajim Ulama al-Jawa’ sebagaimana dikutip Faqihuddin Abdulkadir, ia membanggakan ketekunan dan kesederhanaan Syekh Nawawi. Menururtnya, Ada satu hal yang membuatnya berbeda dengan yang lain. Pernah suatu ketika ia mengunjungi Syek Nawawi yang sedang menulis tafsir Qur’an. Syekh duduk di atas kulit macan di samping jendela hanya dengan lampu corong kecil yang menyinarinya. Cahaya lampu itu redup sekali, kebanyakan orang tidak bisa menulis dengan lampu seredup itu. Tetapi, dia tidak mengganti, atau meminta anak atau pembantunya untuk memperbaiki lampu itu. Sekalipun demikian, banyak orang yang datang belajar kepadanya,[7] teman-teman dan murid-muridnya sering berkumpul terutama di hari libur untuk menikmati makanan yang disedikan isterinya.[8]
Oleh karena itu, Syekh Nawawi tampil menjadi ilmuan iyang mumpuni. Semakin lengkap tatkala dia melahirkan banyak karya. Karyanya mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari aqidah, tafsir dan ulum al-quran, hadits, fiqih, sejarah dan biografi.[9] Karya-karyanya ditulis mulai tahun 1830.[10] Karena itulah, tak mengherankan, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara Para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai “Bapak Kitab Kuning Indonesia.”
Di samping alim dalam berbagai imu agama, syekh Nawawi juga dikenal sebagai sufi dengan aliran tarekat Qadiriyah. oleh karena itu tidak mengherankan jika karayanya banyak bernuanasa tasawuf.
Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhj al-Thalibin karya Yahya ibn Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn Husayn.
Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Syekh Nawawi merupakan ulama yang banyak menghasilkan karya. Menurut Faqihuddin Abdulqodir, dalam hitungan Carl Brockelmann ada 40 kitab yang ditulis Syekh Nawawi, hitungan J.A. Sarkis ada 39 kitab, sementara hitungan K.H. Saifuddin Zuhri, H. Rafiuddin Ramli dan Chaidar ada sekitar 100 kitab. Menurut Martin Van Bruinessen, 11 dari 100 kitab terpenting di pesantren adalah karya Syekh Nawawi ini (Bruinessen, (1990), ‘Kitab Kuning; Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu’, in: Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 146, (1990), no: 2/3, Leiden, hal. 236).[16]
Sebagian dari karya-karya Syeikh Nawawi diantaranya adalah kitab klasik. sebagai berikut:
- al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
- al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
- Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
- Bahjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
- al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
- Nihâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muhimmâh al-Dîn
- Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidâyah
- Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbahâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
- Salâlim al-Fadhlâ? syarah Mandhûmah Hidâyah al-Azkiyâ?
- Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
- al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûh mahâsin al-Ta?wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur?an Majîd
- Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
- Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
- Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
- Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
- Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
- Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
- Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
- Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
- Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
- Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
- Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
- Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
- al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
- ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
- Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
- Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
- al-Nahjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
- Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa al-mu’âdah
- Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
- al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Ra
- Tashrîfiyyah al-Riyâdl al-Fauliyyah
- Mishbâh al-Dhalâm’ala Minhaj al-Atam
- Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâ
- al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina M Baghyah
- al-‘Awwâm fi Syarah Maulid S
- al-Durrur al-Bahiyyah fi syarah al-Kha.
- Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
No comments:
Post a Comment