Hadis Nabi

  • Ulama Pewaris Nabi

    Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda

  • إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

    “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al-Albani)

    Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda

  • إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

    “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Pesan Umar Abdul Aziz

"Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika kau tidak mencintai mereka, janganlah engkau benci mereka." (Umar bin Abdul Aziz)

Biografi Syeikh Nawawi Al- Bantani

18:57

Oleh Abdullah Alawi
Kelahiran, Pendidikan, dan Karir Keilmuan
Syekh Nawawi lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syeikh Nawawi Bantani). Nama lengkapnya adalah Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi. Dia merupakan anak dari hasil perkawinan umar ibn Arab, seorang pejabat penghulu (pemimpin Masjid) di Tanara,[1] dan Zubaydah, wanita penduduk asli Tanara.[2]
Nawawi kecil mendapat pendidikan pertamnaya langsung dari sang ayah yang merupakan tokoh agama di Tanara. Ia bersama dua saudaranya kandungnya, Tamim, dan Ahmad diajari bahasa Arab, fiqh, dan ilmu tafsir.[3]
 
Semenjak kecil Nawawi terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung Kyai Sahal, Banten; kemudian berguru kapada kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.[4]

Pada usia 15 tahun, Nawawi mendapat kesempatan untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkan waktunya untuk belajar ilmu kalam (teologi), bahasa dan sastra Arab, ilmu had ts, tafsir, tasawuf, dan fiqh.[5]

Setelah tiga tahun belajar di Makkah, ia kembali ke Nusantara tahun 1248 H/1831 M. Dengan ilmu keagamaan yang didapat, ia mengabdikan diri membantu ayahnya mengajar para santri. Dia langsung mendapat simpati dari masyarakat. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya didatangi oleh santri yang datang membludak dari berbagai pelosok. Namun beberapa tahun kemudian, ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim (menetap) di sana. Keputusannya menetap di Makkah dilandasi oleh sikap pemerintah kolonial Belanda yang selalu memantau dan mengawasi setiap aktivitasnya. Hal ini membuatnya tidak betah tinggal di Indonesia.[6]

Di Mekkah kembali dia menimba ilmu sepuasnya. Kehausannya akan ilmu dan ketekunananya dikenang dan diabadikan teman seangkatannya, Raden Aboe Bakar (1854-1912), orang dari Banten yang juga belajar di Mekkah. Dalam bukunya ‘Tarajim Ulama al-Jawa’ sebagaimana dikutip Faqihuddin Abdulkadir, ia membanggakan ketekunan dan kesederhanaan Syekh Nawawi. Menururtnya, Ada satu hal yang membuatnya berbeda dengan yang lain. Pernah suatu ketika ia mengunjungi Syek Nawawi yang sedang menulis tafsir Qur’an. Syekh duduk di atas kulit macan di samping jendela hanya dengan lampu corong kecil yang menyinarinya. Cahaya lampu itu redup sekali, kebanyakan orang tidak bisa menulis dengan lampu seredup itu. Tetapi, dia tidak mengganti, atau meminta anak atau pembantunya untuk memperbaiki lampu itu. Sekalipun demikian, banyak orang yang datang belajar kepadanya,[7] teman-teman dan murid-muridnya sering berkumpul terutama di hari libur untuk menikmati makanan yang disedikan isterinya.[8]

Oleh karena itu, Syekh Nawawi tampil menjadi ilmuan iyang mumpuni. Semakin lengkap tatkala dia melahirkan banyak karya. Karyanya mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari aqidah, tafsir dan ulum al-quran, hadits, fiqih, sejarah dan biografi.[9] Karya-karyanya ditulis mulai tahun 1830.[10] Karena itulah, tak mengherankan, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara Para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai “Bapak Kitab Kuning Indonesia.”

Di samping alim dalam berbagai imu agama, syekh Nawawi juga dikenal sebagai sufi dengan aliran tarekat Qadiriyah. oleh karena itu tidak mengherankan jika karayanya banyak bernuanasa tasawuf.
Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhj al-Thalibin karya Yahya ibn Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn Husayn.

Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Syekh Nawawi merupakan ulama yang banyak menghasilkan karya. Menurut Faqihuddin Abdulqodir, dalam hitungan Carl Brockelmann ada 40 kitab yang ditulis Syekh Nawawi, hitungan J.A. Sarkis ada 39 kitab, sementara hitungan K.H. Saifuddin Zuhri, H. Rafiuddin Ramli dan Chaidar ada sekitar 100 kitab. Menurut Martin Van Bruinessen, 11 dari 100 kitab terpenting di pesantren adalah karya Syekh Nawawi ini (Bruinessen, (1990), ‘Kitab Kuning; Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu’, in: Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 146, (1990), no: 2/3, Leiden, hal. 236).[16]

Sebagian dari karya-karya Syeikh Nawawi diantaranya adalah kitab klasik. sebagai berikut:
  1. al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
  2. al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
  3. Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
  4. Bahjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
  5. al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
  6. Nihâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muhimmâh al-Dîn
  7. Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidâyah
  8. Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbahâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
  9. Salâlim al-Fadhlâ? syarah Mandhûmah Hidâyah al-Azkiyâ?
  10. Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
  11. al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûh mahâsin al-Ta?wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur?an Majîd
  12. Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
  13. Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
  14. Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
  15. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
  16. Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
  17. Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
  18. Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
  19. Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
  20. Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
  21. Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
  22. Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
  23. Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
  24. al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
  25. ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
  26. Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
  27. Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
  28. al-Nahjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
  29. Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa al-mu’âdah
  30. Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
  31. al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Ra
  32. Tashrîfiyyah al-Riyâdl al-Fauliyyah
  33. Mishbâh al-Dhalâm’ala Minhaj al-Atam
  34. Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâ
  35. al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina M Baghyah
  36. al-‘Awwâm fi Syarah Maulid S
  37. al-Durrur al-Bahiyyah fi syarah al-Kha.
  38. Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.

You Might Also Like

0 comments

Kalam Murabbi

Ilmu, kemahiran dan segala pemberian yang datang dari ALLAH tidak hadir secara percuma, Ia datang dengan tanggungjawab. Ilmu yang diberikan oleh ALLAH itu menuntut kepada kita untuk diamalkan.

Almarhum Tuan Guru Dato` Bentara Setia Haji Nik Abdul Aziz b Haji Nik Mat

Archives

Ulama Pewaris Nabi

Ulama Pewaris Nabi

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe