Biografi Sheikh Nuruddin Ar-Raniri
11:53Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abd Allah b. Zubair Al-As'adi Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994).
Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru dunia.
Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama.
Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994).
Jejak-jejak Intelektual Al-Raniri
Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam.
Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.
Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari.
Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M), dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu (Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari: tt).
Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis, M). Adapun kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani b. Hasan b. Muhammad Hamid (1588 M).
Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Al-Raniri baru ke Aceh pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh (1637-1644 M).
Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang paham wujudiyyah. Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.
Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh semangat menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme ini dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.
Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun, kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan. Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati. Selain itu, untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Al-Raniri tiba-tiba kembali ke tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke Aceh. Ketika itu, Al-Raniri sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab kelima. Dan selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid dekatnya untuk menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Al-Raniri yang secara mendadak ini menimbulkan. pertanyaan. di kernudian hari. Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh A. Daudy dalam bukunya, Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena ada ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh seorang pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi masyarakat saat itu dan juga seiring dengan syari'at Islam yang dipahami masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi penguasa. A. Daudy memperkirakan bahwa Al-Raniri termasuk bagian dari kelompok penentang tersebut.
Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus 1643 dilaporkan, bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan karena perdebatan antara dirinya dengan ulama baru keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut karena Al-Raniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin "sesat" karena termasuk paham wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri, tetapi saat itu pendapat Rijal menemukan momentum terbaiknya di mata sultanah.
Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran. Pasalnya, jika Al-Raniri tergabung dalam kelompok oposan yang menentang Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas dalam menyelesaikan karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum keberangkatannya. Meski demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan Al-Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh. Bahkan,secara metodologis, pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan kehidupan tradisional Islam Indonesia.
Hampir semua penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat. Asal usul beliau ialah bangsa Arab keturunan Quraisy yang berpindah ke India. Tetapi salah seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur yang digelarkan dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id Ja'far Shadiq ibnu 'Abdullah dalam karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli al-Washilin menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah "Raniri negerinya, Syafi'ie nama mazhabnya, Bakri bangsanya."
Kedatangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri buat pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan dalam tahun 1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah mencatat bahawa beliau sampai di Aceh pada tahun 1637 M. Ini bererti setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (memerintah dari tahun 1606 M hingga 1636 M). Syeikh Nuruddin ar-Raniri seakan-akan kedatangan pembawa satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu yang baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang, sama ada pihak kawan atau pun pihak lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman anti atau penolakan tasawuf ajaran model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Kedua-dua ajaran ulama sufi itu adalah sesat menurut pandangan beliau.
Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.
Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat sokongan sepenuhnya daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafie, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy'ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah pengikut tasawuf yang mu'tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah. Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menghentam habis-habisan
Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Walau bagaimanapun Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan menyokong Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lain-lain. Perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang keluar daripada ulama-ulama sufi yang tersebut itu tidak pernah beliau salahkan tetapi sebaliknya perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang berasal daripada Syeikh Hamzah al- Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i selalu ditafsirkan secara salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Di dalam karyanya Fath al-Mubin 'ala al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri berpendapat bahawa al-Hallaj mati syahid. Katanya: "Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua." Padahal jika kita teliti, sebenarnya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i itu pegangannya tidak ubah dengan al-Hallaj.
Selama menetap di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke Aceh, ramai penduduk yang berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang berasal dari India itu, namun sampai riwayat ini saya tulis, belum dijumpai tulisan yang menyenaraikan nama murid-murid Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Untuk memulakan penjejakan mengenainya di sini dapat saya perkenalkan hanya dua orang, iaitu: Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal dari Makasar/tanah Bugis. Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati ini belajar kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh atau pun Syeikh Yusuf datang menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara pendapat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat berguru kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu masih di Aceh lagi, dan Syeikh Yusuf Tajul Khalwati menerima bai'ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Yang seorang lagi ialah Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.
Pengaruh Al-Raniri
Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi tidak menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa pemerintahan Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata kerajaan Aceh mulai menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia Islam perlulah ditangani dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang urusan keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar.
0 comments