Biografi Imam Ahmad Bin Hambal
18:26 Nasab dan Kelahirannya 
Beliau adalah Abu Abdillah  Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah  bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin  Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau  bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang  berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota  Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau  dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang  paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad,  meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga  tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi  wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian  bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut  merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya  adalah seorang panglima.
 Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa  sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti  ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan  membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua  buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri,  sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat  murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam  Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang  tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada  kemajuan dan kemuliaan.
 Beliau mendapatkan  pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah  menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang  berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam  jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para  sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran  dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14  tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus  menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang  ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa  dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri,  terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah  bercerita, “Terkadang  aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits,  tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu.  Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat  subuh.’”
 Perhatian beliau saat itu  memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para  perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau  mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu  Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk  menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada  di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu  hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah  kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga  syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa  beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits  lebih.
 Pada tahun 186, beliau mulai  melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz,  Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan  mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal  di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah  ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan  terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah  hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah  Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya  al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya  tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya  untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu  dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin  ‘Ulayyah.”
 Demikianlah, beliau amat  menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari  hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah  setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.”  Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits,  memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada  kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di  sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada  banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua  putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu  Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
 Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad,  dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya  sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau  juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
 Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah  mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup  khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman,  tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.”  Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama  kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
 Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau  lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih  (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya)  dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku  keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di  kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa  daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia  seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya  dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, ‘Telah disampaikan  hadits kepada kami’.” Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku  tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada  seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan  mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia  sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.”  Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah  salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam  huffazh.
 Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan  bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan,  terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan  rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan  dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
 Pada masa pemerintahan Bani  Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa  menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang  kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia  sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih  orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan  menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke  dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan  India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat  berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum  muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah  mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah,  dan lain-lain.
 Kelompok Mu‘tazilah, secara  khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah  al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi  al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di  antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat  kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212,  Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama  mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid,  khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang  kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani  menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku  pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku  bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan  kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan  aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang  pun.’” Tatkala  Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin,  kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok  mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan  berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
 Untuk memaksa kaum muslimin  menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian  kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang  yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri  telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang  khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota  maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi  perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak  terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran,  termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang  pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat  memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke  hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke  Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam  perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa  kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar  tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad  tetap mendoakan al-Makmun.
 Sepeninggal al-Makmun,  kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah  mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan  Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun  melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu  dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat  beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya  dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk  sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan  mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang  lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki  terbelenggu.
 Selama itu pula, setiap  harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi  jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan  al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan  menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki  beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan  keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
 Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau  dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan  tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah  kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid  sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq  diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim,  al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia  pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya.  Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq  melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam  Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar  mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama  kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
  
Menjelang wafatnya, beliau  jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun  berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu  rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan  pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal  tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah  dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak  sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan  ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan  800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang  yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka  yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan  mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami.”
Demikianlah gambaran ringkas  ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung  beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh  keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika  sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di  atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab  Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh  dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan  Imam Ahmad, “Allah  telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang  ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat  orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan  Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.”
Sumber:www.muslim.or.id




0 comments